Gerakan Saminisme, Perlawanan Tanpa Kekerasan di Jawa Tengah!
Gerakan Saminisme, Perlawanan Tanpa Kekerasan di Jawa Tengah!--
KORANPAGARALAMPOS.CO - Indonesia sebagai negara dengan ratusan suku bangsa, memiliki beberapa suku yang tetap bertahan dengan keaslian tradisi mereka.
Komunitas ini dikenal karena gaya hidup mereka yang sederhana dan erat dengan alam, serta keteguhan mereka dalam menjaga tradisi leluhur.
Dalam tulisan ini, kita akan menjelajahi asal-usul, keyakinan, gaya hidup, serta tantangan yang dihadapi oleh Suku Samin dalam mempertahankan identitas mereka di tengah arus modernisasi.
Suku Samin berasal dari ajaran Samin Surosentiko, seorang pemimpin spiritual yang hidup pada akhir abad ke-19. Samin Surosentiko lahir dengan nama Raden Kohar di Desa Randublatung, Blora, pada tahun 1859.
BACA JUGA:Perburuan Kepala Manusia? Inilah 5 Ritual Besar dan Utama Suku Dayak
Ia kemudian mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko dan mendirikan gerakan perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Gerakan ini dikenal sebagai Gerakan Saminisme yang menekankan perlawanan tanpa kekerasan dan non-kooperasi terhadap pemerintah kolonial.
Pengikut Samin Surosentiko tersebar di berbagai wilayah di Jawa Tengah, terutama di sekitar Blora, Pati, dan Kudus. Mereka hidup dalam komunitas yang terisolasi, menjaga jarak dari interaksi dengan pihak luar yang dianggap dapat merusak nilai-nilai dan tradisi mereka.
Keyakinan Suku Samin berpusat pada prinsip-prinsip kesederhanaan, kejujuran, dan kedekatan dengan alam. Mereka menolak segala bentuk kekerasan dan lebih memilih jalan damai dalam menyelesaikan konflik.
BACA JUGA:Warisan Budaya Suku Polahi, Tradisi Pertanian dan Keterampilan Berburu yang Terancang!
Salah satu ajaran utama Samin adalah "Laku Lampah", yang berarti berjalan sesuai dengan ajaran leluhur.
Ajaran ini mencakup nilai-nilai kejujuran, keteguhan hati, serta penghormatan terhadap alam dan sesama manusia.
Filosofi hidup mereka juga menolak kepemilikan pribadi yang berlebihan. Mereka percaya bahwa tanah dan sumber daya alam adalah milik bersama dan harus digunakan dengan bijak untuk kepentingan seluruh komunitas.
Pandangan ini tercermin dalam praktik mereka yang menolak sistem pajak dan pembatasan tanah oleh pemerintah kolonial dan, hingga kini, oleh pemerintah modern.