BACA JUGA:Sesalkan Buang-Buang Peluang
Banyak petani yang kapok menanam porang. Apalagi yang lahannya subur. Rugi besar. Sejak awal sebenarnya sudah dibilang: jangan menanam porang di lahan subur; tanamlah porang di lahan gersang; sejelek-jelek harga porang masih lumayan –dibanding tidak ditanami apa-apa.
Rudi punya logika lebih jelas: kalau usaha porang jelek mengapa pabrik porang milik pengusaha besar bertambah besar.
''Hilirisasi''.
Porang pun seperti nikel: perlu hilirisasi. Porang memang tidak masuk program hilirisasi di debat capres tapi masuk dalam pikiran orang Sine bernama Rudi.
BACA JUGA:Madrid Harus Jalani Ujian Berat
''Hanya saja tidak ada modal''.
Hilirisasi apa pun perlu modal besar –bahkan modal asing. Rudi tidak punya modal besar. Tapi tidak kehilangan akal. Ia menemukan hilirisasi porang gaya Sine: hilirisaai bertahap.
Rudi pun berdiskusi dengan teman spiritualnya: Ustad Mansur Shodiq. Dari Blitar. Alumnus pondok Gontor, Ponorogo. Juga alumni Yanbu-ul Quran, Kudus.
Mereka mendirikan De Porang. Singkatan dari Dewan Porang Pesantren Indonesia. Itu di bawah APIK (Asosiasi Pesantren Indonesia Kreatif). Ustad Mansur yang jadi ketua.
BACA JUGA:Tak Jamin Bansos Beras Berlanjut
Di situ ada Koperasi Produsen Nasional Tani Santri Mandiri Indonesia.
Maka di Sine dibuat pabrik porang sederhana. Baru untuk tahap awal dari keseluruhan hilirisasi porang. Yakni masih sebatas pabrik pencuci, pembuat cip, pengering cip, dan pembuat tepung.
Petani porang Sine menyetorkan umbi ke pabrik itu. Di situlah dicuci, diiris-iris jadi cip, dikeringkan di oven, digilas jadi tepung.
Tentu tepungnya belum bisa diolah jadi makanan: masih mengandung asam oksalat. Yakni zat yang membuat porang sangat gatal di mulut.
BACA JUGA:Hitung Uang Mahar Bak di Bank