Tepung itu masih harus dikirim ke pabrik pemisah tepung: minta dipisahkan glukomanannya dengan oksalatnya.
Setiap dua kilogram tepung porang menjadi satu kilogram glokomanan. Biasa juga disebut tepung konjak.
Tepung oksalatnya sendiri tidak dibuang. Masih bisa dijual: bisa jadi bahan baku banyak hal termasuk pabrik lem.
Setelah memperoleh glukomanan Rudi melangkah lebih ke hilir lagi: menjadikan konjak porangnya sebagai makanan. Sebagian dijual dalam bentuk beras porang. Sebagian lagi dijadikan mie porang. Lihatlah di marketplace. Ada produk mie porang merek Mie Porangku. Lengkap. Berbagai rasa.
BACA JUGA:BPBD dan BMKG Kompak Bantah BRIN
Satu bungkus Rp 5000. Itulah mie porang produksi Rudi.
Berapa persen kandungan porangnya?
''Sampai 40 persen,'' ujar Rudi.
Tentu banyak orang tua yang tertolong. Terutama yang ingin menyelamatkan anak mereka dari gluten di terigu. Anak-anak tetap boleh kecanduan mie tanpa terlalu banyak mengonsumsi gluten.
BACA JUGA:Pj Wako Terima Audiensi PT BPR Baturaja
Mie Porangku datang tepat waktu: di zaman marketplace jadi andalan umat manusia. Rudi tidak perlu investasi membangun jaringan distribusi. Penjualannya sepenuhnya online.
Kini produsen mie tidak lagi harus di Jakarta atau Surabaya. Di Sine pun jadi.
Setelah setahun berjalan Rudi yakin di hilirisasi poranglah masa depannya: tiap bulan sudah bisa menjual 3000 bungkus. Penjualan pun terus meningkat.
Perjalanan hilirisasi Rudi masih jauh. Ia belum punya pabrik mie. Ia masih maklun: bikin mie di pabrik mie milik orang lain.
BACA JUGA:UCAPAN DUKA CITA ALPIAN MASKONI DAN DINAS
Hilirisasi Rudi adalah hilirisasi mandiri.