Ukraina yang terletak di halaman depan Rusia, membuat negeri Beruang Merah ini "nekad" mempertahankan peta geopolitik "in group"nya. Tak ada tawar-menawar. Menyerahkan Ukraina menjadi anggota NATO, sama saja menyerahkan leher Rusia untuk disembelih secara perlahan.
Apalagi, sejumlah "in group" Rusia di masa sebelum "Perang Dingin" berakhir (baca: Uni Soviet 1990-an), seperti: Polandia, Bulgaria, Rumania, Republik Ceko, Slowakia, Albania, dan tiga negara Baltik ex-Uni Soviet (Estonia, Latvia, dan Luthuania), semua telah menjadi bagian dari 32 anggota NATO.
BACA JUGA:Tinggalkan Jejak Baik di Sporting CP
Namun tidak untuk Ukraina dan Belarus. Keduanya tidak sama dengan Bulgaria, Polandia, Hongaria, Rumania, Slowakia yang secara geografis bukan di halaman muka Rusia. Menjadi "out group" Rusia? Silahkan! Tidak berdampak langsung terhadap Rusia.
Sulit bagi Ukraina memaksa masuk ke dalam NATO. Terlebih bila tanpa bantuan finansial dan militer AS (Barat). Ukraina yang memiliki luas 603.628 kilometer persegi, serta 33 juta penduduk ini, tak akan mampu melawan Rusia. Ukraina bukan apa-apa bagi Vladimir Putin.
Ukraina Pasti gamang. Jelang berakhirnya serah terima Pemerintahan Joe Biden kepada Donald Trump yang tersisa dua bulan lagi. Ukraina kini berpacu dengan waktu. Kebijakan Trump dan Biden menyangkut bantuan militer dan finansial ke Pemerintahan Presiden Velodymyr Zelenski, tidak akan sama.
Langgam Donald Trump dan Vladimir Putin yang tidak hanya berdasarkan kekuatan "posisional". Namun lebih kepada kutub yang sama, kekuatan "character personal" (pribadi), menjadikan penyelesaian krisis Rusia-Ukraina, bisa berakhir positif di tangan Trump. Tentu, menjadi kerugian bagi Ukraina.
BACA JUGA:Siap Tempur Lawan Jepang dan Arab Saudi, Ini Pesan Maarten Paes
Ukraina, tak ingin ini terjadi. Karena itu, sisa transfer dan bantuan senjata senilai 6 milyar dolar AS (6 milyar USD), atau (£ 4,6 milyar) dari Pemerintahan Joe Biden (Gedung Putih) untuk Ukraina. Harus dikebut secepat mungkin.
Donald Trump bisa saja menunda transfer kepada Ukraina, dengan imbalan Rusia menghentikan serangan, dan maju ke meja perundingan.
Satu hal yang dikhawatirkan Ukraina adalah, terjadinya ketidaksepakatan antara Joe Biden dengan Donald Trump untuk terus menambah bantuan pasca-20 Januari 2025.
Logika berpikir Trump, percuma "buang-buang uang", karena Rusia tak akan kalah. Juga tidak akan mengalah menyangkut keanggotaan NATO Ukraina.
BACA JUGA:Berikan Rasa Aman, Bangun Hubungan yang Humanis Kepada Masyarakat
Logika Trump, saat Rusia membiarkan secara damai negara mantan Uni Soviet: Luthuania, Latvia, Estonia, dan Moldova menjadi anggota NATO, adalah logika sederhana. Bahwa perginya mereka, bukanlah ancaman bagi geopolitik Rusia.
Karena itu, sebagai pengamat, saya mengatakan. Logika Trump, akan berbeda dengan logika Biden. Trump tidak akan lagi mendorong agar Ukraina masuk menjadi anggota NATO.
Trump juga tidak akan memaksa Rusia untuk mengembalikan Semenanjung Krimea yang memiliki nilai historis bagi Uni Soviet saat Perang Dingin berlangsung. Secara terburu-buru. Pembicaraan nasib Krimea, bakal berjalan "long term" dan sulit. Sementara, untuk tiga wilayah yang di-aneksasi lainnya, jauh lebih mudah.