OLEH:
Sabpri Piliang
Wartawan Senior
Tadi pagi, saya tersentak. Ketika seorang Wartawan Senior seangkatan saya mengingatkan.
“Bung, masih ingat peristiwa hari ini. Tiga dasawarsa (dekade) lalu, kita sempat jadi pengangguran,” katanya. Saya masih belum ‘ngeh’, apa yang kawan ini katakan.
Kembali dia bergumam. Bung masih ingat dengan buku karangan bersama:Theodore Petersen, Fred S. Siebert, Wilbur Schramm, dengan 'banner' "Four Theories of The Press"? Saya bilang, "masih ingat". Masih belum faham, kemana muara pertanyaan sahabat, yang juga seorang penulis ini.
BACA JUGA:4 Lokasi Wisata Tersembunyi yang Wajib Dikunjungi Saat Liburan ke Majalengka
Sebelum dia meneruskan tentang teori 'pers' ini secara detil. Saya nggak ingin berpanjang lebar. Saya katakan.
"Bung, 'to The point', kita mau bicara apa. Karena teori pers udah kita telan bersama saat menimba ilmu jurnalistik di kampus yang sama,".
Tiga dasawarsa, atau lebih keren lagi, tiga dekade lalu, ada satu peristiwa "menyesakkan" dada.
Saat tiga media besar dan berpengaruh di negeri ini, tidak boleh terbit lagi. Bahasa modern-nya di-'breidel'. Pemerintah memutuskan, ketiga media ini telah melanggar dan membuat berita yang tidak sepatutnya.
BACA JUGA:Pisau Berkualitas, Memilih Material Besi yang Tepat, Simak!
Sebagai salah satu "pelaku" sejarah, ikut serta dalam gerbong peristiwa tersebut (baca: 'journalist'), tentu merasakan 'getirnya' peristiwa 21 Juni 1994 itu.
Betapa tidak, tiga media yang sangat berpengaruh dan menjadi referensi publik: Majalah Mingguan Berita (MBM) TEMPO, MBM EDITOR, dan Tabloid Detik, hari itu diumumkan untuk berhenti terbit.