Selimut Danantara
Disway--Pagaralam Pos
Kalau itu tercapai Indonesia bisa menjadi juara dunia geothermal. Kini juaranya Amerika Serikat: 3.400 MW. Nomor 3 Filipina: 1.900 MW. Kalau PGE bisa 3.000 MW, maka ditambah milik swasta bisa 3.450.
Memang hambatan untuk mencapai itu tidak hanya soal besarnya dana investasi. Hambatan terbesar justru di "kerukunan keluarga". Yakni sesama "keluarga Danantara"--dulu "keluarga BUMN".
Anda sudah tahu maksud saya: antara PLN dan Pertamina. Lebih tepatnya antara anak perusahaan PLN dan anak perusahaan Pertamina.
Di situ Pertamina sebagai penjual listrik. PLN sebagai pembelinya.
Pertamina tentu mau jual listrik dengan harga setinggi mungkin. PLN mau beli listrik semurah mungkin.
Tidak ketemu.
BACA JUGA:Curahan Hati Stefano Lilipaly Setelah Hilangnya Harapan Timnas Indonesia di Piala Dunia 2026
Pembicaraan harga itu bisa memakan waktu bertahun-tahun. Sulit mendapat kesepakatan. Situasi pun seperti musuh dalam selimut. Bicara-bicara tapi tidak ada gerakannya.
Sudah waktunya selimut itu dibuka saja. Perintahkan: mereka harus lakukan apa.
Yang berhak memerintah adalah atasan mereka. Dulu atasan itu kementerian BUMN, sekarang Danantara.
Sebenarnya saya tidak ingin menulis paragraf berikut ini. Tapi baik juga untuk pengingat. Dirut PLN dan dirut Pertamina dimasukkan dalam satu ruangan. Empat mata. Tidak boleh didampingi staf. Dirut harus menguasai persoalan ini. Sampai detailnya.
"Kalian berdua berunding. Capailah kesepakatan harga. Kalian tidak boleh keluar kamar ini kalau belum ada kesepakatan. Satu minggu pun akan saya tunggui di luar kamar," ujar yang memerintahkah itu.
Keduanya tidak perlu berada di kamar itu setengah hari. Dalam dua jam dua dirut itu sudah menyepakati harga jual beli listrik geothermal.
BACA JUGA:4 Pemain Timnas Indonesia yang Layak Menggantikan Marc Klok
Tentu bisa dengan cara lebih cepat. Dengarkan dulu angka yang dikehendaki dua belah pihak: lalu atasan memutuskan. Gus Dur bilang, gitu saja kok repot.