Tiga Serangkai

Disway--Pagaralam Pos

Tak lama kemudian saya dengar selentingan Alwi datang ke Kompas. Mau gabung ke grup Kompas. Saya tanya kepadanya kebenaran selentingan itu. Alwi membenarkannya.

BACA JUGA:Berikan Kenyamanan Pengendara, Warga Candi Jaya Laksanakan Gotong Royong

"Kenapa harus bergabung ke Jawa Pos atau Kompas? Kenapa tidak mau mandiri?" tanya saya.

"Kami melihat masa depan koran di Indonesia hanya dua itu. Lainnya akan mati semua," jawabnya.

Begitu Alwi menegaskan itu saya pun menjawab: "Ya sudah. Masuk Jawa Pos saja".

Alwi senang. Sejak saat itu kami, dua pecinta jurnalisme, jadi dua serangkai.

BACA JUGA:Masyarakat Kelurahan Bumi Agung Bahas Usulan Prioritas

Saya pun ke Makassar. Tinggal satu minggu di sana. Saya bidanilah terbitnya kembali Fajar. Tanpa modal dari Jawa Pos. Setoran modal Jawa Pos adalah tenaga dan pikiran saya.

Selama satu minggu itu saya kerja siang malam bersama para wartawan dan karyawan Fajar. Sore sampai malam saya bekerja bersama wartawan dan redaktur.

Setelah tengah malam saya bekerja dengan orang-orang percetakan.

Setelah subuh saya bekerja bersama karyawan distribusi. Baru tidur setelah pukul 06.00 pagi.

BACA JUGA:Yamaha Luncurkan Motor Bebek Trail Terbaru, Desain Adventure yang Keren dan Hemat Bensin, Ini Penampakannya!

Pukul 09.00 sudah harus bangun. Bekerja bersama orang-orang administrasi.

Begitulah tiap hari. Sampai Fajar terbit kembali. Sampai semuanya berjalan lancar.

Tiap hari pula makannya nasi bungkus. Tidak bisa makan banyak. Toilet kantor itu lebih buruk dari toilet terminal bus masa lalu. Di dalam kamar mandinya harus ada ganjal bata agar kaki tidak terendam air.

Tag
Share