Bukit Wangbuliao
Disway--Disway
BACA JUGA:Dirtek Timnas Indonesia Dinilai Punya Tanggung Jawab Krusial
Ia merasa cukup sudah bisa membaca dan menulis –biar pun tidak lancar. Satu-satunya buku yang pernah ia baca adalah buku ''Ini Budi''.
Teguh harus cari uang. Kakak-kakaknya tetap sekolah. Adik-adiknya masih kecil. Ayahnya, pedagang kacang rebus di Mojosari, Mojokerto.
Bedanya, kacang rebus itu dikeringkan. Di mana ada pertunjukan wayang kulit pedagang ambil kacang dari sang ayah.
Keluarga kacang rebus ini menyewa rumah di belakang kelenteng Mojosari. Ayahnya ingin cepat punya modal memperbesar usaha.
BACA JUGA:Arne Slot Nilai Nottingham Forest Layak Diperhitungkan sebagai Kandidat Juara
Sang ayah menggadaikan semua perabot rumah. Uangnya untuk beli kupon nalo. Ia beli kupon nomor tunggal: 10. Tidak diecer ke nomor-nomor lain. Ia mantap dengan nomor itu.
Nalo yang keluar: nomor tiga.
Semua jaminan disita. Ludes. Tidak punya apa-apa lagi. Pun meja kursi. Lemari. Satu-satunya yang tidak disita: kasur yang sudah tidak bisa diangkat karena akan robek semua.
Keluarga Teguh jatuh miskin semiskin-miskinnya.
BACA JUGA:Polres Pagaralam Tingkatkan Akuntabilitas Keuangan
"Sebenarnya ibu saya lebih bisa dagang. Tapi ayah saya keras. Mama harus hanya di rumah untuk jaga anak-anak," ujar Teguh. "Mama adalah ibu yang tunduk pada suami," tambahnya.
Sejak itu sang ayah tidak mau bekerja apa pun. Anaknya sembilan orang. Teguh iba melihat mamanya. Ia berhenti sekolah. Jadi kernet truk yang angkut dagangan hasil bumi.
Dari angkutan hasil bumi ini Teguh dapat uang dan ilmu baru: ada tanaman yang bisa dibuat cincau.
Ia belajar merebus daun cincau untuk bahan minuman segar. Ia beli sendiri daun itu, ia rebus bersama ibunya, jadilah cincau warna hitam itu. Lalu beli es batu. Jadilah minuman cincau. Ia jualan itu.