Nobel Caltech
Disway--Disway
Satu Caltech melahirkan begitu banyak pemenang Nobel. Tiongkok belum satu pun menghasilkan ilmuwan kelas pemenang Nobel. Mungkin saja karena Tiongkok-modern memang baru seumur jagung dibanding Caltech.
BACA JUGA:Berikan Penyuluhan Hukum bagi Warga Binaan
Saya belum mendengar ada mahasiswa asal Indonesia yang pernah kuliah riset di Caltech. Tapi Kevin tidak hanya pernah mendengar. Ia tahu sendiri: ada.
Kevin kenal orangnya. Juga anak Semarang. Adik kelasnya di SMA Kolese Loyola. Namanya panjang. Ada unsur nama sekolahnya, ada unsur jurusan kuliahnya dan ada unsur gunungnya: Iganatius de Loyola Indi Argadestya.
Di Caltech Ignatius riset mengenai geologi, pergeseran lapisan bumi sampai ke soal planet Mars. Betapa hebat proposal Ignatius sampai mendapat persetujuan untuk riset master sembilan bulan di situ.
Sayang saya tidak bisa menemuinya: Ignatius lagi saya telusuri di mana alumni UPN Jogja itu sekarang: di Bern, Swiss.
BACA JUGA:Terus Bertekad Tingkatkan Kualitas Program Kesehatan
Selama di Los Angeles saya juga pensiun sebagai petugas pemesan menu di restoran. Semuanya diserahkan ke Kevin. Paling tugas saya tinggal jadi penerjemah kalau suami Janet ingin bertanya ke Kevin tentang apa saja.
"Kita ini lucu," kata suami Janet pada Kevin, "kita sesama Tionghoa harus pakai penerjemah orang Indonesia."
Tidak begitu dua tahun lagi. Kevin sudah setuju usul saya untuk belajar Mandarin di Tiongkok. Ia sudah pinter. Sudah berpengalaman di perusahaan sekelas Walt Disney. Bahasa Inggrisnya sudah seperti orang Amerika. Pun bahasa Jawa Semarangannya: kental banget.
BACA JUGA:Sinopsis John Wick Chapter 3, Ketika Nyawa Keanu Reeves di Ujung Tanduk
Ketika Janet dan suami asyik ngobrol dalam bahasa Mandarin, saya dan Kevin ngobrol dalam bahasa Jawa campur Indonesia. Apalagi kami berdua sesama suka sepak bola. Hanya tidak cocoknya: ia pemuja PSIS. Sedangkan saya, Anda sudah tahu.
Kalau Kevin sudah bisa Mandarin kelak saya pun pensiun jadi penerjemahnya.(Dahlan Iskan)