
KORANPAGARALAMPOS.COM - Nama Herman Willem Daendels mungkin tidak asing bagi sebagian orang yang sarat dengan sejarah kolonial di Indonesia.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda ini dikenal sebagai sosok yang memprakarsai pembangunan jalan raya pos atau De Grote Postweg sebuah proyek raksasa di awal abad ke-19 yang menghubungkan Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur.
Jalan sepanjang sekitar 1.000 kilometer ini menjadi cikal bakal dari Jalur Pantura yang kini menjadi nadi transportasi utama di Pulau Jawa.
Namun, di balik proyek infrastruktur besar tersebut tersimpan kisah yang kerap luput dari buku sejarah di bangku sekolah.
BACA JUGA:Jalur Sutra, Nadi Perdagangan Dunia yang Hilang Ditelan Sejarah
Proyek ini dibangun dengan sistem kerja wajib, dan selama bertahun-tahun diyakini sebagai salah satu simbol eksploitasi kolonial karena menggunakan tenaga kerja rodi tanpa upah.
Tetapi benarkah semua pekerja tidak dibayar?
Menurut temuan sejarawan seperti Asvi Warman Adam dan Prof. Djoko Marihandono dari Universitas Indonesia, ada bukti bahwa Daendels sebenarnya mengalokasikan dana untuk membayar para pekerja.
Dalam instruksi tertanggal 5 Mei 1808, disebutkan bahwa pemerintah kolonial menyediakan dana sekitar 30.000 Ringgit (mata uang Hindia Belanda saat itu) untuk upah dan konsumsi para pekerja.
BACA JUGA:Nova Arianto Masuk Buku Sejarah
Bahkan, besaran upah berbeda-beda tergantung medan pekerjaan.
Para mandor memperoleh 3 Ringgit Perak, pekerja jalan mendapat 2 Ringgit, dan masing-masing kepala keluarga juga mendapat jatah beras dan garam.
Namun, fakta bahwa banyak laporan sejarah tidak mencatat hal ini mengindikasikan kemungkinan besar bahwa proses pembayaran tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Salah satu penyebabnya adalah sistem birokrasi yang menyerahkan proses distribusi upah kepada para bupati pribumi.