Mereka pun buru-buru meninggalkan masjid. Saya kembali masuk masjid.
Begitu saya duduk, ceramah itu selesai. Tanpa penutup "Wassalamu'alaikum..."
Bersamaan dengan selesainya ceramah para jamaah berdiri. Salat. Sendiri-sendiri. Oh...salat sunnah. Saya pun salat dua rakaat. Mereka ternyata salat empat rakaat, dua kali salam.
BACA JUGA:THE MAGICIAN'S ELEPHANT, Misi Pencarian Bersama Seekor Gajah Ajaib
Yang ceramah tadi pun berjalan menuju mimbar khotbah. Tanpa salam. Langsung duduk di tangga mimbar.
Lalu, salah seorang bercelana jeans, di sebelah mimbar, melantunkan azan. Pakai logat Quanzhou. Saya rekam. Anda boleh lihat di IG –kalau cukup pulsa.
Selesai azan khotbah dimulai. Dalam bahasa Arab. Pendek sekali. Hanya 6 menit. Khotbah itu juga saya rekam. Bisa dilihat di IG.
Selesai berkhotbah ia jadi imam salat Jumat. Saya lirik jam dinding. Pukul 14.00.
BACA JUGA:Rumuskan Strategi, Jaga Kamtibmas Pemilu 2024
Ketika imam selesai mengucapkan ''waladdolin'' beberapa orang menyahut dengan kata 'amin'. ''Ini pasti ada orang Indonesia yang ikut salat Jumat di sini,'' kata saya dalam hati. Di masjid-masjid Tiongkok tidak ada sahutan 'amin' seperti itu --pun menjelang Pilpres seperti ini.
Ketika tiga jamaah keluar, yang baru masuk lebih banyak. Masjid menjadi agak penuh: lebih 100 orang: 80 persen suku Hui.
Begitu salat selesai mereka langsung berdiri. Bubar. Tidak ada doa. Tidak ada wirid.
Di halaman saya dicegat beberapa anak muda. Minta foto. ''Kami dari Kendari,'' kata mereka. ''Kami dikirim perusahaan belajar di Xiamen,'' tambahnyi.
BACA JUGA:Median Jalan, Taman dan U-Turn di Pusat Kabupaten Muratara Diperbaiki
''Perusahaan apa?'' tanya saya.
''Perusahaan nikel. Ini namanya,'' jawabnyi sambil menunjukkan tulisan di celana: PT Obsidian Stainless Steel.