Lalu saya lihat dua lelaki perlente masuk ke makam. Gagah. Berjas. Berdasi. Wajahnya seperti keturunan Arab.
"Assalamu alaikum," sapanya. "Kami dari Toronto".
"Kanada?”
"Yes".
BACA JUGA:Intip Pesona HR-V Hybrid, Harga Hampir Setara Innova Diesel, Segini Tenaganya
Kami pun ngobrol sambil berdiri. Tidak ada tempat duduk. Tidak ada gasebo. Tidak ada tempat berteduh.
"Kami lahir di desa ini. Besar di Addis Ababa. Sekarang tinggal di Toronto".
"Sering ke sini?"
"Sering. Sesekali".
Jelaslah mereka masih keturunan yang dimakamkan di situ. Obrolan selesai.
Lapar.
BACA JUGA:Potongan Harga Tertinggi untuk Suzuki dan Mitsubishi di IIMS 2025, Ini Besarannya!
Saya pun minta dibawa ke warung terbaik. Ini soal kesehatan benda yang akan masuk ke perut.
Maka saya dibawa ke warung itu. Lihat foto depannya. Saya ditawari makanan lokal tapi tidak mengerti. Juga tidak mau berjudi. Saya pilih saja roti epek. Roti gapit. Telur dadar (putihnya saja) dijepit di dua belahan roti.
Si Gus Pemandu menolak untuk ikut makan. Lalu setengah saya paksa. Tetap menolak. Ia lulusan D2 bahasa Inggris di kota kecil dekat desanya.
"Puasa?"