"Kenapa harus bergabung ke Jawa Pos atau Kompas? Kenapa tidak mau mandiri?" tanya saya.
"Kami melihat masa depan koran di Indonesia hanya dua itu. Lainnya akan mati semua," jawabnya.
Begitu Alwi menegaskan itu saya pun menjawab: "Ya sudah. Masuk Jawa Pos saja".
Alwi senang. Sejak saat itu kami, dua pecinta jurnalisme, jadi dua serangkai.
BACA JUGA:Masyarakat Kelurahan Bumi Agung Bahas Usulan Prioritas
Saya pun ke Makassar. Tinggal satu minggu di sana. Saya bidanilah terbitnya kembali Fajar. Tanpa modal dari Jawa Pos. Setoran modal Jawa Pos adalah tenaga dan pikiran saya.
Selama satu minggu itu saya kerja siang malam bersama para wartawan dan karyawan Fajar. Sore sampai malam saya bekerja bersama wartawan dan redaktur.
Setelah tengah malam saya bekerja dengan orang-orang percetakan.
Setelah subuh saya bekerja bersama karyawan distribusi. Baru tidur setelah pukul 06.00 pagi.
Pukul 09.00 sudah harus bangun. Bekerja bersama orang-orang administrasi.
Begitulah tiap hari. Sampai Fajar terbit kembali. Sampai semuanya berjalan lancar.
Tiap hari pula makannya nasi bungkus. Tidak bisa makan banyak. Toilet kantor itu lebih buruk dari toilet terminal bus masa lalu. Di dalam kamar mandinya harus ada ganjal bata agar kaki tidak terendam air.
Setelah itu saya masih begitu sering ke Makassar. Fajar harus berhasil. Harus jadi yang terbesar di Sulsel.
Alwi tidak ikut pekerjaan seperti itu. Ia serahkan sepenuhnya kepada saya.
BACA JUGA:Digempur Mobil Listrik China, Suzuki Masih Andalkan Mild Hybrid, Ini Alasannya!