Yalal Batubara
Yalal Batubara--Tomy/Pagaralampos
Yalal Batubara
Oleh: Dahlan Iskan
KORANPAGARALAMPOS.COM - Nahdlatul Ulama (NU) harusnya seperti yang digambarkan dalam teori antifragility: ketika terjadi tekanan akibat sebuah kemelut ia justru akan kuat.
Ini kebalikan dari teori fragility: kena tekanan berantakan.
BACA JUGA:Gubernur Sumsel Herman Deru Hadiri Malam Ramah Tamah di Pagar Alam
Maka siapa tahu heboh pemecatan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akhir-akhir ini justru melahirkan jalan baru bagi NU: jalan keterbukaan yang modern.
Bukankah banyak kemajuan yang justru diraih lewat turbulensi. Bukankah matinya Nokia melahirkan smartphone. Dan bencana Covid-19 mempercepat digitalisasi.
Anda sudah tahu: banyak yang bilang persoalan turbulensi di NU berlatar belakang sejak NU punya tambang batubara.
NU kini memang punya tambang batubara. Di Kutai Timur. Tidak jauh dari Bontang. Di sebagian bekas konsesi grup Bakrie. Kualitas tambangnya kelas satu.
BACA JUGA:Perkuat Sinergi Pemprov dan Pemkot
Luas tambang itu 25.000 hektare. Isinya: satu miliar ton batubara --kualitas tinggi. Hitung sendiri berapa puluh triliun rupiah nilainya.
Persoalannya: siapa partner yang akan digandeng untuk mengelolanya. Mengelola tambang tidak mudah. Kitab kuning tidak mengajarkannya.
Segala macam permainan kotor ada di bisnis batubara. Ada humor terkenal di kalangan itu: "dari 10 pedagang batubara, yang biasa menipu 12".
Maka banyak pemilik tambang yang pilih terima beres. Terima bersih: setiap satu ton batubara yang diambil dari lahannya dapat berapa dolar. Selebihnya jadi bagian pengelola. Termasuk risikonya.