Lukisan Aktivis
Disway--Disway
Oleh: Dahlan Iskan
Bukan baru sekali ini pameran lukisan Yos Suprapto diberedel. Pembredelan pertama dulu justru membuat Yos kaya raya. Namanya melejit. Semua lukisannya laku.
"Sampai saya bisa beli tanah dan rumah di Australia," kata Yos.
Saya berbicara panjang dengan pelukis Yos Suprapto kemarin siang. Ia lagi di rumahnya di Kaliurang, Yogyakarta. Sudah 15 tahun Yos tinggal di lereng gunung Merapi. Ia menjadi aktivis lingkungan di sana.
Ternyata bukan hanya lima lukisan yang dilarang ditampilkan di pameran di Galeri Nasional Jakarta pekan lalu –seharusnya sampai 19 Januari depan. Setelah lima lukisan dilarang masih tambah satu lagi.
BACA JUGA:KPU Pagaralam Ikuti Rakernis Keuangan, Umum dan Logistik
Karena itu Yos memutuskan untuk membatalkan pameran. Heboh. Beredarlah lima lukisan yang dilarang tampil. Masyarakat yang tidak peduli lukisan pun jadi tahu.
Yos marah: mengapa karya seninya dinilai dengan kacamata politik. Jokowi di lukisan itu, katanya, adalah akar persoalan dari keseluruhan tema pameran yang dipamerkan: kebangkitan tanah untuk kedaulatan pangan.
Yos lahir di Surabaya –sampai lulus SMPN 4. Lalu menyelesaikan SMA di Bandung. Saat kuliah ia pilih jadi mahasiswa seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta -–sekarang jadi Institut Seni Indonesia, ISI.
Di ISI Yogya, Yos jadi aktivis mahasiswa. Puncaknya adalah gerakan anti Jepang, Malari. Di Jakarta terjadi bakar-bakar produk Jepang. Di Surabaya, Bandung, dan Yogya, mahasiswa juga bergerak.
BACA JUGA:Rahasia Jadi Raja Mesir di Liverpool
Salah satu tokoh mahasiswa yang diincar untuk ditangkap adalah Yos. Teman-temannya minta Yos menghilang. Ia pergi ke Bali.
Di Bali, Yos mendapat koneksi yang akan mengubah jalan hidupnya. Sebagaimana tokoh mahasiswa lainnya, Yos merasa lebih bermanfaat kalau pergi ke luar negeri –kuliah di luar negeri.
Yos dapat hubungan untuk kuliah di Australia. Yakni di salah satu universitas di Queensland bagian utara.