Kawin Thinking
Disway--Disway
"Apakah banyak orang Indonesia yang punya pendapat seperti ini?" tanya John.
BACA JUGA:Tinggalkan Jejak Baik di Sporting CP
Rupanya John tidak hanya suka membaca Disway tapi juga suka melihat sampai ke komentar perusuh. Tentu sudah yang dalam bahasa Inggris.
Dari situlah awalnya, pagi itu kami diskusi soal critical thinking. Terutama bagaimana mengajarkan critical thinking di sekolah-sekolah Amerika.
Chris lantas memberi contoh bagaimana soal siapa antagonis dan siapa protagonis sudah dibahas di tingkat SMP.
Pelajaran pertama critical thinking dimulai di SD kelas 3. Bentuknya: memahami kalimat. Satu kalimat.
BACA JUGA:Siap Tempur Lawan Jepang dan Arab Saudi, Ini Pesan Maarten Paes
Di kelas berikutnya: memahami maksud di tulisan dua kalimat yang digabung. Di kelas 4 memahami makna yang tertulis dalam satu paragraf.
Di SMP dimulailah berpikir dengan pertanyaan ''mengapa''. Sedang di SMA sudah masuk ke berargumen dan adu argumen.
John tidak akan lupa seumur hidupnya saat pelajaran itu dia alami di akhir SMA. Bahkan debat itu sampai mengubah jalan pikirannya. Sampai sekarang.
Waktu itu guru membagi kelas dalam dua kubu: apakah seharusnya terjadi perkawinan antar ras. Atau tidak. John kala itu berada di kubu ''bisa dilakukan''.
BACA JUGA:Berikan Rasa Aman, Bangun Hubungan yang Humanis Kepada Masyarakat
Debat ditentukan akan dilakukan satu minggu kemudian. Selama seminggu John dan kubunya sibuk mencari bahan. Ia sampai menemukan buku ''teori ras''.
Awalnya, secara pribadi, John termasuk yang berpendapat tidak setuju perkawinan antarras. Sebagian teman satu kubunya berpendapat boleh kawin antarras tapi jangan dilakukan.
Perubahan cara berpikir John bermula ketika menemukan buku teori tentang ras. Di situ ditulis bahwa di dunia ini ada lima ras induk.