Pikul Lumpia
Disway--Disway
Oleh: Dahlan Iskan
TIDAK semua event diakui sebagai event nasional. Tahun ini arak-arakan Dewa Cheng Ho dinyatakan sebagai event nasional.
Yang menyatakan: Kementerian Pariwisata. Minggu pagi lalu. Yang menyerahkan sertifikatnya: Nia Niscaya. Dia pejabat tinggi di Kementerian Pariwisata –mewakili Menteri Sandi Uno. Dia satu-satunya wanita berjilbab di Kelenteng Sam Poo Kong yang penuh manusia hari itu.
Maka, banyak yang mengira penyelenggara acara tahunan ini adalah Kelenteng Sam Poo Kong. Tidak salah. Finis arak-arakan itu memang di kelenteng tersebut.
Tapi, penyelenggara yang sebenarnya adalah: Kelenteng Tay Kak Sie di Jalan Lombok, Semarang. Dari kelenteng Jalan Lombok itu pula arak-arakan dimulai (lihat Disway: Pikul Lumpia).
BACA JUGA:Cegah Nikah Dini Beri Edukasi kepada Peserta Didik
Yang diarak adalah Dewa Cheng Ho. Juga, abu dari Kelenteng Tay Kak Sie. Itulah abu hio yang dibakar di kelenteng itu selama setahun. Abu ditaruh dalam satu bejana. Bejana ditaruh di dalam tandu. Tandu dipikul empat orang.
Saya cari-cari pilihan: setelah memikul tandu Cheng Ho, saya akan memikul apa lagi. Yang tidak seberat tandu Dewa Cheng Ho. Saya lihat ada tandu yang beroda. Ditarik satu orang dan didorong beberapa orang.
Saya pun minta izin ke yang lagi tarik tandu itu. Disilakan. Maka, ganti saya yang jadi "kuda". Sama sekali tidak perlu tenaga. Dorongan dari belakang terlalu bertenaga. Justru kaki saya sering menjadi rem. Agar tidak menabrak barisan di depan kami: barisan tabuh-tabuhan.
Kereta yang saya tarik itu bermuatan abu hio dari Kelenteng Besar Tay Kak Sie. Abu hio yang saya bakar malam sebelumnya tentu tidak termasuk dalam bejana yang saya tarik.
BACA JUGA:Budaya Besemah Mewujudkan Masyarakat Pagaralam Berpradaban
Malam sebelumnya saya memang ikut mbakar tiga hio besar dua kali. Yakni, saat ikut sembahyang berjamaah. Yang pertama di depan dewa yang di halaman. Yang kedua di depan altar dalam Kelenteng Tay Kak Sie.
Baru sekali ini saya melihat ada sembahyang di kelenteng secara berjamaah. Yang biasa saya lihat dilakukan sendiri-sendiri –sesuai permintaan masing-masing.
Sembahyang berjamaah itu tidak pakai imam. Ketua kelenteng berdiri di tengah. Di barisan depan. Saya diminta juga di saf depan. Saya lirik kanan kiri agar tidak ada gerakan yang salah.