Minus Dua
Disway--Disway
Oleh: Dahlan Iskan
DARI Bandara Halim saya langsung ke RSPAD. Jenazah Opung ternyata sudah diberangkatkan ke Balige. Pakai pesawat carter. Opung dimakamkan di sana. Di kampung halamannya. Kemarin.
Opung memang sudah lama menyiapkan makam untuk dirinya: Di Hall of Silence kompleks museum Letnan Jenderal Purn TB Silalahi. Itu juga disebut TB Silalahi Center.
Saya dua kali ke museum itu. Dari lantai duanya terlihat Danau Toba yang damai. Di antara museum dan danau itu terhampar petak-petak sawah yang padinya lagi menguning.
Di museum itu perjalanan karir militer Opung disajikan. Foto, pakaian, senjata, dan apa pun yang terkait dengan perjuangannya di TNI dipajang. Termasuk ketika menjadi komandan pasukan perdamaian di Timur Tengah.
BACA JUGA:Dinilai Dalam Bayang-Bayang Orkestrasi Penguasa
Ini juga bisa disebut museum Batak. Benda-benda budaya diabadikan di situ. Itulah budaya yang membentuk kepribadian Opung.
Opung mendalami budaya Arab. Juga soal Islam. Ia menjadi pembina salah satu organisasi pesantren yang besar di Jawa Barat. Saya diperkenalkan ke banyak kiai muda di sana. Organisasi itu dikenal luas sering mengadakan lomba marawis se Jabar.
Opung begitu sering menerima penghargaan sebagai lulusan terbaik di berbagai sekolah komando. Juga di sekolah komando gabungan, Seskogab.
Tapi karir jabatannya di TNI mirip Opung satunya: Jenderal Luhut B. Pandjaitan. Sama-sama istimewa tapi tidak pernah jadi pangdam, jadi KSAD, apalagi jadi panglima TNI.
BACA JUGA:Samakan Persepsi, Dukung Evaluasi PUG
Opung bisa menerima itu dengan realistis. Tapi ada satu yang sangat mengganjal di hatinya. Juga di pikirannya: mengapa tidak bisa memiliki bintang empat.
Opung pensiun dengan tiga bintang (letnan jenderal TNI). Hanya itu. Ia tidak menyesal tidak pernah menjadi KSAD.
Opung menyadari hidupnya ditakdirkan untuk minus dua: bukan Jawa dan bukan Islam. Ia tidak menyebutnya Batak dan Kristen –karena yang suku non-Jawa agama non-Islam lainnya juga mengalami nasib serupa di zaman itu.