Timah Sederhana

Sabtu 30 Mar 2024 - 19:20 WIB
Reporter : Thom Yorke
Editor : Thom Yorke

Oleh: Dahlan Iskan

INDONESIA hebat: pernah ingin berdaulat di bidang timah. Tahun 2013. 

Sebelum itu, yang menguasai perdagangan timah di Asia Tenggara  adalah –duille– Singapura. 

Sejak tahun 2013 itu penjualan timah harus melalui Bursa Timah Indonesia. Peran Singapura pun merosot drastis. Tinggal sekitar 20 persennya.

Kita memang eksporter timah terbesar di dunia. Tapi saat itu tidak bisa ikut membentuk harga.

BACA JUGA:Peringatan Nuzulul Quran di Masjid Al Mutaqqin Pagar Alam

Penghasil timah terbesar dunia Anda sudah tahu: Tiongkok. Tapi Tiongkok tidak ekspor. Sepenuhnya dipakai sendiri. Bahkan masih impor dari Indonesia –ekspor terbesar timah kita memang ke Tiongkok.

Sejak ada bursa timah Indonesia itu sebenarnya perdagangan timah Indonesia lebih terkontrol. Tanpa lewat bursa, Bank Indonesia tidak akan mengeluarkan dokumen apa pun. Tanpa dokumen itu bea cukai tidak bisa memprosesnya. Eksporter tidak akan bisa mendapat pembayaran.

Tapi pemegang konsesi terbesar tambang timah kita –BUMN PT Timah– ibarat kuda yang kian tua: tidak mampu lari. Pun hanya untuk mengitari luasnya konsesi di daratan dan laut antara Bangka dan Belitung.

Sang kuda juga tidak bisa berubah jadi anjing galak: menggonggong di saat lahannya dijarah terang-terangan oleh penambang ilegal. Padahal mereka menjarah tidak dengan sembunyi-sembunyi: pakai traktor, pakai kapal-kapal pengisap, dan  pakai armada truk-truk besar. 

BACA JUGA:Endrick Diminta Segera ke Real Madrid

Semuanya aman. Sang kuda hanya berkedip-kedip dari jauh. Betapa kuat backing yang berada di balik semua itu.

Saya kasihan kepada teman saya yang intelektual murni: Dr Fachry Ali. Alumnus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pemikir. Lulusan Australia. Seumur hidupnya jadi pemikir Islam yang hebatnya luar biasa. Lalu entah bagaimana Fachry bisa menjabat komisaris utama PT Timah. Tepat di saat kerja sama antara swasta dan PT Timah itu ditandatangani. Saya membayangkan bagaimana Fachry harus mengkaji dokumen kerja sama itu. Yang kalau sangkaan Kejaksaan Agung benar, begitu penuh trik dan rekayasa.

Padahal komut harus memberikan persetujuan sebelum dirut menandatangani perjanjian bisnis sebesar itu.

Tentu Fachry punya kecerdasan yang tinggi. Juga punya logika yang kuat. Dibantu pula tim komite audit dewan komisaris. Tapi Fachry terlalu polos untuk mendalami segala jenis udang di balik peyek. Apalagi di antara udang itu ada pula kepitingnya.

Kategori :