Di Al Zaytun lagu kebangsaan Indonesia harus selalu dinyanyikan lengkap tiga stanza. Itulah lagu Indonesia Raya yang asli. Bukan satu stanza seperti yang umumnya kita nyanyikan sekarang.
BACA JUGA:Melihat Peran Emas Antam dalam Mewarnai Panggung Ekonomi Global
Dirigen lagu kebangsaan itu seorang Tionghoa. Pakai baju putih. Berjas. Dasi merah. Berkopiah. Berkaus tangan putih. Namanya: Tan Tjuan Hong.
Bebarapa orang Tionghoa memang hadir di barisan depan. Juga banyak pendeta. Salah satunya Pendeta Robin Simanullang, penulis buku Al Zaytun.
Setelah itu, disusul pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Oleh seorang santri laki-laki. Saya lupa namanya.
Yang tampil berpidato mewakili Al Zaytun adalah Dr Datuk Sir Imam Prawoto, KRSS, SE, MBA, CRBC. Begitu gelarnya. Ia ketua Yayasan Pesantren Indonesia –yang menaungi Al Zaytun.
BACA JUGA:Melihat Perbedaan Antara Suku Papua dan Kalimantan, Ini Penjelasanya
Ia adalah putra sulung Syekh Panji Gumilang. Sedangkan pengantar acara diberikan oleh ketua panitia yang masih muda: Eji Anugrah Romadhon, SS, MAP.
Setiap pembicara tampil di podium lebih dulu meneriakkan pekik ”Merdeka”. Ada yang sekali. Ada yang tiga kali. Ada yang sebelum "assalamualaikum". Ada yang sesudahnya. Pun yang membaca Al-Qur’an: mengawalinya dengan pekik ”Merdeka”. Termasuk saat mengakhirinya.
Syekh Panji Gumilang tidak naik podium –meski saya sudah minta dengan sangat agar ia tampil sebelum saya. Alasannya: sudah tiga hari berturut ia bicara di seminar tiga hari di situ.
Tema seminar adalah Remontada from Within –kebangkitan Indonesia dari kekuatan internal Indonesia sendiri.
BACA JUGA:Membuka Tabir Ritual Tiwah Suku Dayak
Maksudnya: agar Indonesia masih tetap eksis sampai 1.000 tahun lagi."Indonesia 1.000 tahun."
Itulah hasil renungan Syekh Panji Gumilang selama hampir satu tahun di dalam penjara. Lalu, jadi tema bahasan ulang tahun pesantrennya yang ke-25.
Oh... Seribu tahun lagi: berapa penduduk Indonesia? (*)