Oleh: Dahlan Iskan
SAAT ikut memikul tandu dewa Cheng Ho di Semarang, Minggu pagi lalu, pikiran saya melayang ke Kumaila nan cantik.
"Tidak ada agama yang masuk akal", judul podcast anak muda yang hafal quran dan lulusan Institut Ilmu Alquran yang sekarang lagi viral itu.
Tandu itu berat sekali. Dipikul empat orang. Banyak yang berebut ingin memikulnya. Termasuk tokoh-tokoh Tionghoa Semarang.
Jam 05.00 pagi mereka sudah berkumpul di Kelenteng Besar Tay Kak Sie. Di Jalan Lombok. Dari situlah Dewa Cheng Ho diarak menuju Kelenteng Agung Sam Poo Kong. Bersama abu hio selama setahun di klenteng tersebut.
BACA JUGA:Dukungan Nyata Tim Kunci Menangkan Hati Rakyat
Saya harus tahu diri. Maka begitu keluar dari Kelenteng Tay Kak Sie saya ingin menyerahkan posisi saya ke tokoh lain. "Sudah tidak kuat?" tanya ketua panitianya, Novi Sofian.
Saya malu menjawab tidak kuat lagi. Novi cantik sekali. Lima ''i''. Dia aktivis Tionghoa terkemuka di Semarang. Pengusaha. Dua anaknyi laki-laki semua, sudah dewasa semua, ganteng-ganteng semua. Ternyata adik-adik Novi juga sama cantiknya. Pun ibunyi. Kakak laki-lakinyi, Tommy Su, selalu juara karaoke lagu Mandarin tingkat nasional.
"Kalau masih kuat, terus saja, Pak," ujar Novi.
"Nggak enak dengan yang lain," jawab saya.
BACA JUGA:Semarakkan Hari Kemerdekaan dengan Jual Bendera
"Mboten menapa-menapa," kata Novi lagi.
Maka saya pun terus memikulnya. Sepanjang Jalan Lombok. Penuh manusia di kanan-kirinya. Sebagian menonton. Ada juga yang tiba-tiba ke tengah jalan, menghadap tandu, lalu sembahyang di depan saya –maksud saya di depan Dewa Cheng Ho.
Sambil memikul tandu saya melirik ke kiri: ada toko lumpia Jalan Lombok. "Oh, ini lumpia yang terkenal itu," kata saya dalam hati. Toko lun pia itu masih tutup. Saya menelan ludah.
"Sampai di mana saya akan memikul ini," kata saya dalam hati. Begitu banyak yang ingin bergantian memikulnya. "Sampai mulut jalan Lombok saja," tekad saya.