PAGARALAMPOS.CO - I’tikaf, sebuah praktik spiritual dalam Islam yang bermakna tinggal atau berdiam diri di suatu tempat, telah menjadi bagian penting dalam ibadah umat Muslim.
------------------------
Fahmi Putra Barokah, Pagar Alam
-------------------------
TERUTAMA, pada 10 hari terakhir bulan Ramadan, i’tikaf menjadi salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Melalui i’tikaf, umat Islam memperoleh kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, membersihkan hati dan pikiran dari kotoran dunia, serta meraih keberkahan dan ampunan-Nya.
BACA JUGA:Sidang PHPU Cara Merawat Nalar Publik
I’tikaf memiliki makna yang mendalam dalam konteks Islam. Selain sebagai momen evaluasi diri, i’tikaf juga merupakan wahana untuk memfokuskan pikiran dan hati pada hal-hal yang bersifat rohani. Dalam pelaksanaannya, umat Islam biasanya menetap di masjid atau tempat ibadah lainnya untuk beribadah dan menjauhkan diri dari urusan dunia. Durasi pelaksanaan i’tikaf tidaklah terikat pada waktu yang pasti, tetapi umumnya dilaksanakan selama 10 malam terakhir bulan Ramadan.
I’tikaf adalah praktik spiritual dalam Islam yang bertujuan utama memperkuat hubungan dengan Allah SWT dan meningkatkan komitmen dalam ibadah. Melalui i’tikaf, umat Islam memfokuskan pikiran dan hati pada ibadah tanpa gangguan dunia luar, serta melakukan introspeksi diri untuk mengenali kekurangan dan memohon ampunan dari Allah SWT.
BACA JUGA:Majukan Industri Kerajinan dan UKM di Kota Pagar Alam
Selain itu, i’tikaf juga menjadi waktu untuk bertafakkur dan mencari hidayah, serta menemukan kembali jati diri manusia yang sesungguhnya. Dalam konteks sosial, i’tikaf juga mengajarkan pentingnya membangun dunia yang lebih baik dalam naungan Allah SWT. Melalui pelaksanaan i’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadan, umat Islam berharap memperoleh Lailatul Qadr dan mendapatkan pencerahan serta hidayah Allah untuk menuju kehidupan yang lebih baik secara spiritual.
Itikaf memiliki akar sejarah yang dalam dalam Islam, dimulai dengan praktik pertama kali oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau menghabiskan 10 hari terakhir bulan Ramadan di Gua Hira untuk beribadah dan menerima wahyu dari Allah SWT. Menurut catatan sejarah, Nabi Muhammad mengasingkan diri dari masyarakat yang masih dalam keadaan Jahiliyah di Gua Hira, yang terletak di Bukit Hira, tempat yang lebih tinggi dari Ka’bah.
BACA JUGA:Momentum Sinergi Pemerintah dengan Jajaran Kepolisian
Selama waktu itu, beliau menjalankan tiga bentuk ibadah sekaligus: menyepi, beribadah, dan melihat Baitullah. Tradisi itikaf ini berlanjut setelah turunnya wahyu dan penugasan beliau sebagai Rasulullah, menjadi suatu amalan yang diwariskan kepada umat Islam. Sejak itu, masjid menjadi tempat utama untuk menjalankan ibadah kepada Allah, sesuai dengan perintah dalam Al-Quran, yang menegaskan bahwa masjid-masjid adalah milik Allah dan tempat yang suci untuk menyembah-Nya. (*)