Geger! Satu Keluarga Terjun dari Lantai 21 Apartemen di Jakarta Utara

Polisi dalami motif bunuh diri satu keluarga di Apartemen Penjaringan Jakarta Utara--

PAGARALAMPOS - Psikolog Forensik Reza Indragiri angkat bicara soal satu keluarga jatuh dari apartemen Teluk Intan Tower Topas, Panjaringan, Jakarta Utara pada Sabtu lalu.Polisi mengatakan, keempat orang, yang terdiri dari ayah berinisial EA (50), ibu inisial AEL(52) dan dua anak berinisial JWA (13) serta JL (16), tewas usai jatuh dari rooftop apartemen.

BACA JUGA:Inter Semakin Tak Terbendung

Reza Indragiri tidak sepakat soal istilah bunuh diri sekeluarga dalam peristiwa tersebut. Ia menjelaskan, pernyataan bunuh diri sekeluarga bisa dipakai ketika masing-masing anggota keluarga itu sepakat untuk melakukannya.

Namun, peristiwa ini tak hanya melibatkan orang tua atau dewasa. “Ingat, pada kejadian yang menyedihkan dan mengerikan itu ada dua orang anak-anak,” kata Reza lewat keterangan tertulis pada Senin, 11 Maret 2024.

BACA JUGA:Cughup Gahangan, Potensi Objek Wisata Alam

Dia meragukan keputusan anak-anak untuk melakukan bunuh diri. Menurut dia, dalam situasi apa pun, anak-anak tidak memiliki kehendak dan kesepakatan untuk melakukan tindakan semacam itu.

Reza menjelaskan, analogi yang melibatkan anak dalam kasus bunuh diri sama dengan kasus aktivitas seksual. Dari segi hukum, anak-anak yang terlibat dalam aktivitas seksual harus selalu didudukkan sebagai individu yang tidak ingin dan tidak bersepakat melakukan aktivitas itu. Sehingga, anak-anak dalam peristiwa kejahatan seksual adalah korban.

BACA JUGA:Apakah Kencur Bisa Mengatasi Batuk? Yuk Simak 5 Penawar Alami Untuk Mengatasi Berbagai Gangguan Kesehatan!

Anak-anak dalam peristiwa satu keluarga tewas jatuh dari apartemen ini harus tetap diposisikan sebagai orang yang tidak mau atau tidak setuju. Mereka, kata dia, dipaksa untuk melakukan tindakan ekstrem yang menghilangkan nyawa.

BACA JUGA:Apakah Memelihara Kucing Baik Untuk Kesehatan? Ini 5 Peran Kucing Dalam Menjaga Tubuh Anda Aktif dan Sehat!

Kedua anak itu tidak bisa dikatakan bunuh diri, sebab mereka dipaksa untuk melompat dari apartemen. Oleh karena itu, kedua anak itu bisa disebut sebagai korban pembunuhan. “Pelaku pembunuhannya adalah pihak yang harus diasumsikan, telah memaksa anak-anak tersebut untuk melompat sedemikian rupa,” ucap Reza.

BACA JUGA:Dijamin Betah Gak Mau Pulang, Ini 10 Referensi Destinasi Wisata Sulawesi Tengah Wajib Masuk List Liburan Anda!

Ahli psikologi forensik itu memahami polisi tetap tidak bisa memproses lebih lanjut kejadian ini meski kasus berubah menjadi bunuh diri dan pembunuhan, sebab terduga pelaku, yaitu orang tua anak tersebut juga tewas.

Namun, seluruh pihak seharusnya mencatat bahwa kasus semacam ini bisa menjadi pidana. “Baik dalam pendataan polisi maupun keinsafan bagi seluruh pihak,” kata dia. Sayangnya, Indonesia memang belum mengenal posthumous trial atau proses pidana terhadap pelaku yang sudah mati.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan