Bukhari Sukarno

Disway--Pagaralam Pos

Dari adegan di makam Imam Bukhari saya juga baru tahu: Bung Karno berziarah di malam hari yang gelap. Anda pun belum tahu: Bung Karno memasuki makam itu dengan ''laku ndodok''. Yakni berjalan dalam posisi jongkok.

Jalan model begini biasa dilakukan di keraton Jawa. Juga saya lakukan di masa kecil –saat akan mendekati nenek atau orang yang dituakan. Di setiap Lebaran, anak-anak muda harus bisa melakukan ini di acara sungkeman halal bihalal. Yang tidak bisa akan jadi bahan tertawaan dan olok-olok. Wanita lebih sulit melakukannya karena pakai kain jarit kebaya.

BACA JUGA:Tips Cara Sederhana Mengamankan Kamera Laptop

Saya terkesan dengan cara Bung Karno dan para menterinya laku ndodok di makam itu. Termasuk menteri J. Laimena yang bukan Jawa dan bukan Islam. Sutradara Ahmad Fauzi dan produser Restu Imansari berhasil menciptakan adegan ''laku ndodok'' dengan uniknya –lebih unik dari aslinya.

Yang juga baru bagi saya adalah ini: Bung Karno berzikir di makam itu lama sekali. Sampai ada adegan seorang menteri mendekati Bung Karno, menepuk bahunya, dan mengingatkan ''hari sudah pagi''. Berarti khusyuk sekali Bung Karno di makam itu. Sepanjang malam. Sampai tidak ingat waktu.

Peristiwa Bung Karno ke makam Imam Bukhari lantas menjadi seperti legenda. Di Indonesia. Juga di Uzbekistan. Sampai ada narasi ''Bung Karno''-lah yang menemukan makam Imam Bukhari –secara tidak langsung.

Zaman itu Islam ditumpas habis di Uni Soviet. Termasuk di Uzbekistan. Masjid-masjid dihancurkan. Apalagi madrasah. Makam Imam Bukhari sendiri menjadi seperti makam telantar.

BACA JUGA:Gunakan Password Manager, Ini Alasannya

Itu hanya sebagian benar. Banyak madrasah dan masjid peninggalan Ulugh Begh yang sebenarnya dihancurkan oleh Islam sendiri –yakni aliran Islam ekstrem yang tidak setuju dengan Islam liberal zaman Ulugh Begh.

Ini rupanya mirip dengan lahirnya gerakan Imam Al Ghazali sebagai reaksi atas kebablasannya Islam liberal di zaman keemasan Abbasyiah.

Sebagai teater, Imam Al-Bukhari dan Sukarno memang seperti pamflet, tapi tetap menarik. Apalagi hanya satu jam. Kalau pun membosankan toh tidak lama.

Memang tidak perlu dipersoalkan akurasi informasinya. Ini teater. Bukan sejarah. Misalnya pemain wanita dari Uzbekistan yang menarasikan sebagai saksi hidup peristiwa itu. Ia mengaku kini berusia 71 tahun. Pengakuan lain: saat itu ia berumur 10 tahun. Sudah mencatat peristiwa itu di buku hariannyi. Tentu tidak masuk akal.

BACA JUGA:Cara Kerja VPN dan Kapan Harus Digunakan

Saya saja yang sekarang berusia 74 tahun saat itu baru berusia lima tahun.

Yang agak sulit dimengerti –tapi menarik bagi penonton– adalah dilatunkannya lagu Syubbanul Wathon. Panjang. Lengkap. Sampai ada penonton yang bertepuk tangan. Saya terkesan dengan adegan gerak yang menyertai Syubbanul Wathon.  Rasanya semua Banser NU harus bisa menirukan gerakan itu.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan