Medali Debat
Disway--Disway
Saya hanya bertemu satu grup yang dari sekolah negeri: SMAN 5 Surabaya. Saya bertemu orang tua mereka. Jaket Persebaya yang saya pakai membuat mereka langsung mengenal siapa si pemakainya.
BACA JUGA:Pengumuman
Grup tiga-remaja-beda-ras itu sendiri terbentuk dadakan. Tidak berteman sebelumnya. Mereka baru bertemu langsung di kampus Yale kemarin. Baru beberapa menit sebelum acara daftar ulang.
Adeline putri Jennifer yang dari Congo. Ally putri Natalie, seorang Tionghoa dari Jakarta. Si Ndet adalah buyutnya mbah Iskan dari SMP 5 Muhammadiyah Surabaya.
Tentu ketiganya sudah saling telepon beberapa hari sebelumnya, tapi baru di arena kompetisi bisa baku dapa.
Remaja dari segala ras dunia ada di kompetisi itu: putih, hitam, kuning, coklat, agak hitam, agak kuning, agak coklat...
BACA JUGA:Berikan Pelayanan Publik yang Maksimal
Tahun lalu si Ndet sudah ikut kompetisi di sini. Dia berhasil meraih medali emas. Beberapa bulan lalu dia juga meraih empat medali emas di lomba debat serupa tingkat Asia di Korea Selatan.
"Tapi nilai akademik saya payah...," gurau si Ndet kepada kakeknyi.
Orang tua dari negara mana pun terlihat sama. Membiarkan anak cucu mereka independen. Bergaul sesama remaja. Tidak ada anak di situ yang terlihat terus menggelayut di tangan ibu bapaknya.
Kami pun, para orang tua, ngrumpi sendiri. Termasuk ayah dan ibunya si Ndet yang saya pasti mengenalnya.
BACA JUGA:Raih Juara I Lomba 10 Program PKK Tingkat Kota Pagaralam
Dari ngrumpi itulah saya baru tahu bagaimana si wanita Congo pintar berbahasa Mandarin. Lebih lancar dari saya. Juga dibanding umumnya ibu-ibu Tionghoa Indonesia yang ikut ngrumpi di situ.
Nama wanita Congo itu: Jennifer Masika. Meski lahir di Kinsasa, Congo, kuliahnya di Guangzhou. Jurusan computer science.
Di Guangzhou pula dia bertemu mahasiswa asal Tanzania. Muslim. Mereka kawin. Tanpa saling ganggu keyakinan. "Putri saya itu muslim," katanyi sambil menunjuk Adeline.