Rumah Sehat

Disway--Disway

Dengan demikian sel bisa mendapat pasok oksigen tanpa melalui jalur logistik tradisional: hidung, paru dan saluran darah.

BACA JUGA:Kak Pian Ajak Masyarakat Jadi Pemilih ‘ALAF’

Dari ruang infus saya melihat ruang-ruang balur. Satu ruang berisi satu tempat tidur. Bentuknya seperti tempat tidur biasa tapi alas tempat tidur itu berupa lembaran tembaga.

Lembaran tembaga itu di-grounding-kan ke tanah. Fungsi tembaga itu untuk mengurangi elektron dalam tubuh yang berlebih atau menambah kekurangan elektron.

"Lapisan tembaga itu sebenarnya akan lebih baik kalau berupa lembaran emas 24 karat," ujar Prof Sutiman. "Belum punya uang untuk beli emas selebar tempat tidur," tambahnya.

Mengikuti cara berpikir Prof Sutiman saya jadi bertanya-tanya mengapa IQ orang Indonesia dibilang rendah.

BACA JUGA:Pilihan Glamping Keluarga, Serunya Berkemah Mewah di Alam!

Jumlah masjid terbanyak ada di Indonesia. Patung Yesus tertinggi di dunia juga di Indonesia. Maka saya marah ketika melihat di TikTok ada yang membeberkan IQ terendah se Asia Tenggara ada di Indonesia. Marahnya dalam hati: belum tentu isi TikTok itu salah.

Mungkin IQ rendah tidak masalah asal indeks hidup paling bahagia ada di Indonesia.

IQ tidak tinggi tapi bahagia. Miskin tapi bahagia. Tidak mau bertanya tapi bahagia. Sayangnya indeks kebahagiaan juga tidak tinggi di Indonesia.

Mungkin sudah waktunya ada gerakan mahasiswa bertanya. Yang memprakarsai haruslah dosennya: jangan mau mulai mengajar kalau belum ada yang bertanya. Atau jatah makan siang gratis diberikan hanya kepada mahasiswa yang berani bertanya.

BACA JUGA:Kumpul Keluarga di Tengah Alam, 5 Glamping Mewah yang Menawan!

Jadi, kenapa gigi berwarna putih? Mungkin memang tidak perlu ada yang bertanya. Ada yang sejak kecil sudah dibiasakan tahu jawabnya: itu bagian dari kekuasaan Tuhan yang maha pencipta. Selesai.

Jelas, untuk mahasiswa S-1 perlu dibangun gerakan berani bertanya. Sedang untuk mahasiswa S-2 perlu ada gerakan shifting paradigma: membiasakan mahasiswa S-2 melihat apa pun dari sisi lain. Lalu sisi lainnya lagi.

Itu yang dilakukan Prof Sutiman saat mengajar di Universitas Brawijaya Malang. Juga ketika jadi dekan MIPA dua periode di sana. Pun ketika lagi jadi takmir masjid di kampungnya.(Dahlan Iskan)

Tag
Share