PAGARALAMPOS.CO - Tak banyak ibu yang pernah mengalami apa yang Setareh Farokhi telah lalui. Setareh, pengungsi asal Iran, dapat bertemu kembali dan memeluk anak perempuannya di Jerman setelah terpisah selama 17 tahun.
Penata rambut berusia 44 tahun itu berasal dari Kermanshah, sebuah kota di bagian barat Iran. Ia mengaku merupakan korban pernikahan anak.
Setareh menikah saat berumur 15 tahun dan melahirkan putrinya, Sepideh, pada usia 16.
"Saat menikah, saya bahkan belum mencapai kematangan fisik dan seksual. Itu terjadi karena paksaan keluarga," katanya pada BBC.
BACA JUGA:Man United Tak Perlu Khawatir, Pemain Muda Berbakat Menolak Kembali karena Memiliki Standar Tinggi
"Saya sama sekali tidak bersedia," ujarnya.
"Baru ketika berusia 17 atau 18 tahun saya menyadari bahwa saya telah menjadi korban."
Iran adalah satu dari sedikit negara di dunia yang melegalkan pernikahan anak. Perempuan dapat menikah mulai dari usia 13 tahun, sementara laki-laki dari umur 15 tahun.
Berdasarkan aturan hukum Iran, pernikahan bisa saja berlangsung bahkan sebelum batas usia terpenuhi sepanjang mendapat persetujuan dari wali anak dan pengadilan.
Para kritikus mengatakan peraturan ini melanggar hak anak dan tidak mempertimbangkan hak anak yang akan dinikahkan.
BACA JUGA:Ditolak oleh Xabi Alonso, Liverpool dan Bayern Muenchen Bersaing untuk Merebut Murid Pep Guardiola
Setareh bilang ia terlalu muda untuk menikah dan menjadi orang tua.
"Kami tumbuh bersama seperti dua teman main," kata Setareh soal hubungan dengan anaknya.
"Saat itu, bila dia menangis, saya tidak tahu apakah dia mau susu, buang air besar, atau butuh hal lainnya. Saya masih sangat muda dan tidak siap dengan kehidupan pernikahan. Bayi itu datang terlalu cepat."
BACA JUGA:Real Madrid dan Bayern Muenchen, Bersaing untuk Mendapatkan Bocah 18 Tahun dari Divisi 2 Liga Inggris
'Saya duduk di tanah dan menangis'
Bagi Setareh, momen terakhir kali ia melihat putrinya terpatri selamanya dalam ingatan (BBC)
"Ia turun dari mobil ayahnya, begitu juga saya. Kami berpelukan, duduk di tanah dan menangis. Saya tidak bisa mendeskripsikannya."
Sang ayah membawa pergi putri mereka ketika ia baru berusia delapan tahun karena sejumlah perbedaan terkait budaya dan agama.
"Karena ketegasan dari si ayah yang sama sekali tidak mengizinkan saya melihat anak saya, pengadilan memutuskan bahwa saya bisa melihat anak saya di ruang publik - maksudnya di jalanan - setidaknya sebulan sekali," kata Setareh.
BACA JUGA:Kursi Massimiliano Allegri di Juventus, Hanya Aman 180 Menit Lagi Sebelum Keputusan Akhir
Menurut hukum Iran, hak asuh anak perempuan dan laki-laki sampai usia tujuh tahun berada di tangan ibu.
Setelah itu, hak asuh anak perempuan berusia tujuh hingga sembilan tahun dan anak laki-laki berusia tujuh hingga 15 tahun diberikan kepada ayah.
Setelah mencapai usia akil balik, anak perempuan dan laki-laki dapat memutuskan sendiri ingin tinggal bersama orang tua yang mana.
Menurut Setareh, setelah pertemuan terakhir dengan Sepideh, sang ayah tidak pernah membawa putrinya untuk menemuinya dan bahkan mengatakan pada si anak bahwa ibunya telah meninggal.
"Saya ingat saya menyiapkan kado untuk ulang tahunnya dan saya hanya menangis seperti orang gila sendirian. Itu sangat sulit bagi saya," katanya.
'Saya masih merasa ini semua hanya mimpi'
Pada musim panas 2022, saat-saat yang telah ditunggu Setareh dan Sepideh selama bertahun-tahun lamanya akhirnya tiba.
Setelah 17 tahun berpisah, mereka berpelukan dan menangis selama hampir setengah jam, saling mencium dan menghapus air mata bahagia masing-masing.
Satu-satunya kalimat yang bisa diucapkan Sepideh adalah, "Aku harap tidak ada ibu dan anak yang harus terpisah."
Satu setengah tahun kemudian, saya mengunjungi kembali Setareh dan Sepideh untuk mengetahui apa yang mereka rasakan saat ini.
Keduanya baru merayakan ulang tahun, yang masing-masing hanya terpisah tiga hari, dan mereka sibuk.
Setareh masih bekerja di salon rambut, sementara Sepideh, yang telah mendapat suaka, sibuk berupaya membaur dengan masyarakat Jerman dan mempelajari bahasanya.
Sepideh, yang kini telah menggunting pendek rambutnya, meminum teh di rumah ibunya sembari mengenang waktu mereka bersama sejak bertemu kembali.
"Saya masih merasa ini semua hanya mimpi. Seperti mimpi yang bisa kamu ingat segala detailnya tapi tidak bisa mempercayainya. Sebuah kejutan psikologis."
BACA JUGA:Dukung Pasar Ramadhan, Hidupkan Ekonomi Masyarakat
"Kami telah membuat banyak kenangan dalam satu setengah tahun terakhir, tapi itu tidak menggantikan 17 tahun yang hilang."
Sepideh menyebut ibunya sebagai harta karun terbesar dalam hidup. Ia bilang, "Sekarang saat saya memiliki ibu saya, saya merasa sangat baik."
"Saya melalui kenangan-kenangan bersama putri saya yang tidak pernah saya bayangkan mungkin terjadi. Kami tumbuh bersama," tambah Setareh, sambil menatap putrinya dengan penuh kasih.
"Mengenalnya sangat sulit bagi saya karena dia tumbuh di dunia yang jauh dari dunia saya. Namun, seiring berjalannya waktu, saya melihat bahwa dalam banyak hal, dia mirip dengan saya."
"Saya menghabiskan berjam-jam hanya menatapnya. Saya bisa bilang, saya terlahir kembali bersamanya," tutupnya. (admin/bbc)
BACA JUGA:Inter Milan Sudah Pasti Melaju ke Liga Champions, Hanya Butuh 11 Poin Lagi Menuju Scudetto
Kategori :