Bermain mengandalkan tenaga, lalu gagal di "finishing touch", hanya menghabiskan 'power'. Kekalahan di "injury time", sering dialami karena tidak efektif mengolah bola.
BACA JUGA:Jangan Coba Kesana, Misteri Danau Sentarum Keindahan Alam yang Penuh Teka-Teki!
Berpulang pada kualitas kompetisi. Jepang adalah contoh produk yang lahir dari kompetisi yang baik. Ayase Ueda, Koki Ogawa, adalah produk yang lahir dari situ.
Jalan pintas PSSI. Dengan menaturalisasi sejumlah pemain dari kompetisi Eropa, tepat. Tak ada pilihan lain, di samping "berbiaya murah", sang pemain memiliki 'proud' bermain di sebuah Timnas. Simbiosa mutualisme.
Regulasi yang diinginkan pelatih Shin Tae Yong, juga Ketua Umum PSSI Erick Thohir, bagus. Pemain tersebut harus memiliki "ke-indonesiaan". Artinya, ada "darah mengalir" pada si pemain. Mau setetes, dua tetes, tiga tetes. Lewat kakek, orang tua, keluarga, mereka akan dilirik untuk membela Timnas Indonesia.
Tentu saja, azas 'ius soli', atau 'ius sanguinis', termasuk yang menjadi acuan naturalisasi.
BACA JUGA:Seram! Misteri Danau Poso Fenomena Aneh dan Rahasia Alam yang Belum Terungkap
Apa yang dilakukan Perancis, apa yang dilakukan Indonesia. Bisa saja "pahit di lidah". Pro dan kontra, mengecam naturalisasi akan muncul. Kritik tajam naturalisasi, sebagai hal yang negatif tak terhindarkan.
Namun naturalisasi pemain, sangat baik untuk mengobati "penyakit" akut sepak bola Indonesia.
Penyakit yang saya maksud di sini adalah. Kegagalan yang membosankan. Gagal "maning", gagal "maning". Satu kata, cukup!*(Sabpri Piliang)..