Bahasa jawa juga memiliki beberapa tingkatan untuk berkomunikasi sehari-hari.
Tingkatan tersebut yaitu ngoko yang merupakan bahasa sedikit kasar yang digunakan kepada seseorang yang tingkatannya berada di bawah, kemudian krama madya yaitu bahasa Jawa yang digunakan kepada orang yang sederajat, dan krama inggil yaitu bahasa yang digunakan kepada orang yang lebih tua atau dihormati.
Sedangkan aksara Jawa memiliki 20 huruf yaitu ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja,ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga.
Artinya adalah ada dua utusan yang setia saling bertarung sama-sama saktinya dan sama-sama matinya.
BACA JUGA:Jejak Sejarah Suku Komering Sumatera Selatan
BACA JUGA:Benteng Fort Rotterdam, Saksi Sejarah Perlawanan Kerajaan Gowa
6. Budaya Kejawen
Budaya Kejawen merupakan budaya yang cukup terkenal dan melekat pada suku Jawa.
Budaya kejawen ini mengajarkan tentang gabungan dari adat istiadat, budaya, pandangan sosial, dan filosofis orang Jawa.
Ajaran kejawen hampir mirip seperti agama yang mengajarkan spiritualitas masyarakat Jawa kepada penciptanya.
Masyarakat Jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya.
BACA JUGA:Dari Perdikan Cahyana! Begini Sejarah Pembuatan Saka Tatal Masjid Agung Demak
BACA JUGA:Pasar Setan! 7 Kisah Misteri Gunung Lawu di Jawa Timur
Pakar antropologi Amerika yang ternama, Clifford Geertz, pada tahun 1960-an membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: kaum santri, abangan, dan priyayi.
Menurutnya kaum santri adalah penganut agama Islam yang taat, kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut Kejawen, sedangkan kaum priyayi adalah kaum bangsawan.
Tetapi pendapat Geertz banyak ditentang karena ia mencampur golongan sosial dengan golongan kepercayaan.
Kategorisasi sosial ini juga sulit diterapkan dalam menggolongkan orang-orang luar, misalkan orang Indonesia lainnya dan suku bangsa non-pribumi seperti orang keturunan Arab, Tionghoa, dan India.