Oleh: Dahlan Iskan
MASA bulan madu Kamala Harris ternyata merepotkan tim kampanye Donald Trump.
Kubu Trump telanjur hanya siap menghadapi Capres Joe Biden. Ketika tiba-tiba posisi Biden digantikan Kamala seluruh senjata Trump mendadak tidak bisa dipakai. Tidak relevan lagi.
Dicarikanlah topik baru untuk menyerang Kamala. Tidak segera ketemu. Terutama kata yang tajam dan langsung menjatuhkan Kamala.
Pernah dicoba menggunakan istilah ''wanita kucing'' untuk memojokkan Kamala. Yakni karena Kamala tidak pernah merasakan melahirkan. Biasanya wanita demikian lantas memelihara kucing.
BACA JUGA:Misteri Gunung Lesung Bali: Eksplorasi Kawah Purba dan Pesona Alamnya
Istilah ''wanita kucing'' ini justru menambah simpati kepada Kamala. Utamanya dari pemilih wanita. Apalagi Kamala terlihat sangat mencintai anak bawaan suaminyi (Disway 28 Juli/Mama Momala).
Tidak segera bisa ditemukan kelemahan Kamala yang fatal. Maka Trump maupun cawapresnya seperti coba-coba saja menggunakan kata apa pun untuk menyerang Kamala.
Saya mencoba membuat daftar kata apa saja yang dipakai menyerang Kamala: terrible, horrible, nasty, radikal kiri, terlalu banyak tertawa, penutup rahasia kelemahan Biden, liberal dari California, DEI hire.
Semua bersifat umum. Tidak ada yang menghunjam ke jantung Kamala.
BACA JUGA:Kawinkan Gelar EURO dan Olimpiade Paris 2024
Bahkan julukan ''DEI hire'' itu justru menarik simpati golongan kulit hitam yang nyaris beralih ke Trump.
''DEI here'' adalah julukan untuk merendahkan orang. Orang itu sebenarnya tidak berkualitas tapi terpaksa direkrut sebagai penggenap.
Misalnya seorang wanita diangkat jadi caleg sebuah partai di Indonesia. Bukan karena prestasi melainkan agar unsur wanita mencapai 25 persen.
Orang Amerika tahu: Kamala jelas bukan wanita penggenap. Ia memang wanita kulit hitam. Ayahnya asal Jamaica hitam. Ibunya dari Chennai, India hitam. Tapi dia jadi orang penting bukan sebagai genap-genap. Dia ikut persaingan bebas sejak tingkat jaksa di tingkat kota. Lalu bersaing bebas untuk menjadi jaksa agung California. Dia jadi jaksa –lalu jadi jaksa agung– bukan karena diangkat atasan. Dia berjuang sendiri lewat prestasi untuk bisa dipilih rakyat. Pun ketika Kamala menjadi anggota DPR: bukan karena dapat rekom partai.